Opini

Abolisi Tom dan Amnesti Hasto, Menakar Batas Antara Rekonsiliasi dan Erosi Hukum

Oleh: Muhammad Rofik Mualimin

YOGYAKARTA || Koranprogresif.id – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengajukan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti bagi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto—dua tokoh yang tersandung kasus korupsi. DPR pun menyetujuinya. Langkah ini memicu debat sengit: apakah ini upaya rekonsiliasi politik atau justru ancaman serius bagi penegakan hukum dan masa depan demokrasi Indonesia?

Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Trikasih Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, yang disetujui DPR pada awal Agustus 2025, mengundang kegaduhan politik sekaligus kegelisahan hukum di tanah air.

Langkah ini seolah menegaskan kembali bahwa dalam demokrasi Indonesia, politik tetaplah panglima, sementara hukum seringkali menjadi alat kepentingan.

Berita Lainnya

Presiden memang memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi sesuai Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Namun, hak prerogatif ini harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas, bukan sekadar alasan politik.

Sejarah pemberian amnesti dan abolisi di Indonesia biasanya terkait dengan tahanan politik atau konflik sosial, bukan kasus korupsi. Kini, Tom dan Hasto yang tersangkut dugaan korupsi menerima pengampunan tersebut. Ini merupakan preseden berbahaya.

Menurut akademisi hukum Herdiansyah Hamzah, keputusan ini melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang selama ini menjadi perhatian serius bangsa. Yance Arizona, pakar hukum tata negara, menyebutnya sebagai praktik di mana politik mendominasi hukum, menggagalkan prinsip negara hukum.

Pemerintah berusaha menjustifikasi langkah ini sebagai strategi rekonsiliasi nasional di tengah polarisasi politik yang tajam. Analis politik Denny JA berpendapat, amnesti dan abolisi ini adalah upaya pemulihan harmoni dan konsolidasi kekuasaan.

Namun, apakah rekonsiliasi bisa dibangun di atas kompromi yang merusak prinsip keadilan? Tom Lembong dari kubu Anies Baswedan dan Hasto Kristiyanto dari PDIP adalah figur politik penting. Langkah ini menimbulkan spekulasi bahwa hukum menjadi alat barter politik untuk menjaga keseimbangan elite, bukan instrumen keadilan.

Jika praktik seperti ini dibiarkan, konsekuensinya serius. Pertama, hukum menjadi relatif dan bergantung pada kedekatan politik. Kedua, kepercayaan publik terhadap lembaga hukum terus terkikis. Ketiga, lahir preseden moral berbahaya bahwa kekuasaan dapat membebaskan koruptor.

Demokrasi konstitusional menuntut penegakan hukum yang konsisten dan adil. Penggunaan hak prerogatif presiden seharusnya memperkuat, bukan melemahkan, integritas hukum.

Rekonsiliasi politik memang penting, terutama di era polarisasi. Namun, rekonsiliasi sejati harus berdasar pada keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap hukum. Jika tidak, kita hanya membangun damai semu di atas fondasi yang rapuh.

Pemberian abolisi dan amnesti dalam konteks ini bukan sekadar keputusan hukum, melainkan cerminan arah demokrasi Indonesia ke depan. Apakah hukum menjadi alat kekuasaan politik, atau menjadi benteng keadilan yang menjunjung tinggi prinsip rule of law?

Pertanyaan itu harus dijawab oleh semua elemen bangsa, agar demokrasi tidak kehilangan jiwanya.

*Penulis adalah dosen STAI Yogyakarta, kritikus sosial, pengasuh PP Latifah Mubarokiyah

Show More

Berita Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Untuk Menonaktifkan Adblock