Aktualisasi Nilai‑Nilai Maulid dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara di Era Post‑Modernisme

Oleh Muhammad Rofik Mualimin (Kolumnis/Dosen STAI Yogyakarta/Pengasuh Pontren Latifah Mubarokiyah/Penasihat Paguyuban Demak Bintoro Nusantara (PDBN))
YOGYAKARTA || Koranprogresif.id – Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, muncul tantangan baru: masyarakat semakin individualis, kemewahan materi mengalahkan kesederhanaan spiritual, dan ruang publik—termasuk politik—seringkali kehilangan nuansa nilai budaya. Dalam kondisi seperti inilah kita butuh kembali meneguhkan nilai-nilai Maulid Nabi: semangat spiritualitas, kepedulian sosial, dan cinta tanah air, sebagai obat anti-kedaluwarsa di era post‑modernisme.
Perayaan Maulid Nabi SAW—yang melahirkan rasa syukur dan cinta kepada Rasulullah—membawa ajakan kembali pada kesadaran spiritual. Dalam buku Spiritualitas Nabi dalam Kehidupan Modern oleh Dr. Aisyah Hamid (2018: 45-46), disebutkan bahwa ritual Maulid membantu memelihara kesadaran akan peran teladan Nabi dalam menguatkan moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Nilai ini sangat relevan saat post‑modernisme sering menempatkan relativisme moral sebagai norma baru.
Imam al-Nawawi (t.t.: 132) dalam Kitab turats al‑Adhkar menyebutkan, syair‑syair perayaan Maulid sebagai medium mempererat tali ukhuwah: rasa cinta terhadap Nabi menjadi jangkar persaudaraan dalam masyarakat. Dengan demikian, tradisi repetisi syair-syair maulid bisa mencegah hilangnya solidaritas di tengah modernitas yang cenderung individualistik.
Sebagai bukti empiris, riset lapangan jurnal Maulid dan Solidaritas Sosial di Masyarakat Urban oleh Lestari (2022: 78–82) ditemukan, ruang-ruang maulid sering menjadi arena gotong-royong antarkomunitas.
Ahmad Faisal (2021: 121-125), dalam disertasinya Maulid dan Spirit Nasionalisme dalam Masyarakat Ma’arif di Sumatera, menunjukkan bahwa pelaksanaan Maulid dengan memasukkan syair-syair nasionalis memperkuat identitas kebangsaan: saat doa dan syair maulid dibacakan dalam bahasa daerah dan nasional, maka selain mengenang Nabi, kita juga mengenang akar budaya dan kebangsaan. Praktik ini menembus sekat fragmentasi sosial dalam bingkai post‑modern.
Majalah Republika melaporkan fenomena baru, yaitu komunitas maulid digital—sejumlah lembaga keagamaan mengadakan maulid secara daring, dengan dialog interaktif, renungan, dan kombatan lintas iman (2023: 14). Ini mencerminkan sinergi antara nilai-nilai maulid klasik dan kebutuhan komunikasi modern yang inklusif, bahkan dalam masyarakat plural.
Secara ringkas, aktualisasi nilai-nilai maulid di era post‑modernisme bukan hanya soal sekadar mengulang syair dan doa, tapi tentang 4 (empat hal) berikut ini.
Pertama, membumikan spiritualitas sebagai jangkar etika publik; kedua, mengusung solidaritas sosial di tengah individualisme; ketiga, menguatkan cinta tanah air sebagai modal kebersamaan nasional; dan keempat, menyatukan warisan tradisi dengan ruang dialog modern dan lintas-konfessional.
Dalam semangat ringan, kita bisa membayangkan maulid sebagai sebuah festival batin—tempat ulang tahun spiritual yang merangkul seluruh lapisan: dari masjid ke media sosial, dari mushala ke republik. Di tengah dunia yang serba cepat dan fragmen, merayakan maulid dengan nilai-nilai tersebut justru memberi kita bahan bakar menjadi komunitas yang tak kehilangan diri. Semoga kita tak sekadar merayakan maulid, tapi benar-benar menghidupinya—dalam tutur, tindakan, dan harmoni kebangsaan. ***