LSM Masih Jadi Anak Manja Donor

Oleh Agung Nugroho (Ketua Umum Rekan Indonesia)
JAKARTA || Koranprogresif.id – Sejak era reformasi hingga hari ini, dunia LSM di Indonesia masih berkutat pada masalah klasik: ketergantungan pada donor. Banyak organisasi masyarakat sipil seolah menempatkan donor sebagai “dewa penggerak organisasi.” Kalau ada donor, mesin gerakan hidup; begitu dana habis, aktivitas macet. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kemandirian LSM masih sebatas jargon.
Kalau kita baca Pierre Bourdieu, sebenarnya mudah dipahami kenapa donor begitu dominan. Donor membawa modal simbolik: nama besar, legitimasi, sekaligus gengsi. LSM yang kebagian kue donor otomatis terlihat lebih “wah” di ruang publik. Tapi di balik itu, ada relasi kuasa yang tidak seimbang: donor jadi pemegang kendali, sementara LSM jadi pelaksana setia. Artinya, struktur dominasi tetap berjalan meskipun kemasannya program sosial.
Antonio Gramsci bisa membantu menjelaskan lebih jauh. Donor tidak hanya kasih uang, tapi juga paket nilai dan agenda. LSM kemudian menginternalisasi agenda ini dalam bentuk program. Proses ini yang disebut Gramsci sebagai hegemoni: dominasi yang halus tapi efektif. Akibatnya, alih-alih menyalakan api dari kebutuhan rakyat sendiri, banyak LSM justru sibuk menyesuaikan diri dengan logika proposal.
Karl Marx barangkali tersenyum miris melihat kenyataan ini. Hubungan donor-LSM persis seperti relasi majikan-buruh. Donor punya “alat produksi” berupa dana, sedangkan LSM menawarkan “tenaga kerja” berupa proyek dan laporan. Hasilnya, bukannya tumbuh sebagai kekuatan mandiri, banyak LSM malah terjebak dalam ketergantungan struktural—hanya bisa bergerak kalau ada “upah”.
Kalau ditarik ke teori dependency ala Andre Gunder Frank, kondisi ini mirip relasi pusat-pinggiran dalam ekonomi dunia. Donor berperan sebagai pusat yang menentukan arah, sementara LSM lokal menjadi pinggiran yang bergantung penuh. Ketika ketergantungan terlalu kuat, inisiatif lokal mati pelan-pelan. LSM akhirnya sibuk menjadi “agen proyek” ketimbang agen perubahan.
Habermas pun sudah memberi alarm lewat konsep ruang publik. Ruang publik yang sehat seharusnya bebas dari dominasi, tempat masyarakat bisa berdiskusi kritis. Tapi dalam praktiknya, ruang publik LSM sering dipagari agenda donor. Diskusi tentang kesehatan, pendidikan, atau lingkungan misalnya, kadang sudah diarahkan ke indikator proyek. Jadi, bukan murni suara warga, melainkan hasil “setting” dari proposal.
Padahal, dalam teori civil society, LSM dianggap aktor penting demokrasi. Alexis de Tocqueville sudah menekankan, organisasi masyarakat sipil bisa jadi sekolah demokrasi: tempat warga belajar mandiri, berpartisipasi, dan saling percaya. Tapi kalau LSM terlalu sibuk mengurus laporan donor, fungsi ini kabur. LSM yang seharusnya jadi jembatan rakyat justru menjauh dari rakyat.
Mari kita jujur: LSM memang butuh donor, terutama untuk menopang kerja-kerja awal. Tapi jika seluruh energi dihabiskan hanya untuk mengejar dana, bukankah kita sedang melatih diri jadi “anak manja” yang hanya bergerak ketika ada uang jajan? Solusinya jelas: kemandirian finansial. Ada banyak cara, mulai dari iuran anggota, usaha sosial (social enterprise), hingga kolaborasi lintas komunitas.
Karena kalau tidak, sindiran itu makin terasa benar: LSM bukan lagi Lembaga Swadaya Masyarakat, tapi sudah berubah jadi Lembaga Sangat Menggantungkan diri. ***