Ragam

Maulid Nabi, Saat Pesan Kenabian Jadi Penawar Kekacauan di Indonesia

 

Oleh: Muhammad Rofik (Mualimin Kolumnis/Dosen STAI Yogyakarta/Pengasuh Pontren Latifah Mubarokiyah/Penasihat Paguyuban Demak Bintoro Nusantara (PDBN))

YOGYAKARTA || Koranprogresif.id – Di tengah gelombang demonstrasi besar‑besaran yang mengguncang ibu kota dan sejumlah daerah, gema Maulid Nabi hadir bukan sekadar riuh ceramah dan solawat, melainkan sebagai oase spiritual sekaligus pengingat untuk berpijak pada nilai-nilai luhur yang dibawa Nabi: keadilan, empati, dan toleransi.

Indonesia—dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya—sedang diuji. Aroma kekesalan atas ketimpangan sosial dan aspirasi politik tak jarang memicu kerusuhan dan kekhawatiran. Di sinilah Maulid Nabi punya momentum kuat untuk jadi katalis perdamaian. Sebagaimana ditegaskan PBNU, Maulid dapat menjadi “oase kesejukan di tengah tahun politik yang makin memanas”.

Prinsip-prinsip Nabi—seperti dalam Piagam Madinah yang menekankan keadilan dan kebebasan beragama—sejatinya jadi peta jalan saat masyarakat terpecah.

Mengapa momentum ini relevan? Dalam perayaan Maulid, ada potensi memperkuat kohesi sosial, sebagaimana diungkap Prof. Beihaqi (PB DDI), bahwa kegiatan peringatan ini bisa memperkokoh kerukunan dan keharmonisan jika tidak disalahgunakan untuk agenda politik.

Karena pada saat yang sama, tak jarang perayaan semacam ini justru ditunggangi kelompok politik atau ekstrem—seperti peringatan Maulid yang disusupi aktivis khilafah dengan agenda ideologis terselubung.

Ini ironi tragis yang membuat momentum sebenarnya untuk bersatu malah jadi ajang perpecahan.

*Lalu, apa yang bisa dilakukan?*

Pertama, spirit Maulid harus dikembalikan ke esensi spiritualnya: introspeksi, cinta Nabi tanpa syirik, serta penguatan solidaritas sosial.

Kecintaan kepada Nabi bukan slogan kosong, tapi ditunjukkan lewat penegakan keadilan dan empati—dua hal yang sangat dibutuhkan ketika demonstrasi menghasilkan gesekan sosial.

Kedua, momentum Maulid bisa jadi sarana pendidikan inklusif. Seperti ditunjukkan di Jepara oleh Az Zahra (2025), perayaan Maulid justru mampu merekatkan solidaritas, menghidupkan semangat kewarganegaraan, serta memperkuat modal sosial berbasis nilai Pancasila.

Kalau semangat ini diarahkan ke demo yang damai—bukan destruktif—hasilnya bisa lebih konstruktif bagi demokrasi.

Ketiga, tokoh agama dan masyarakat harus mengambil sikap tegas: mengajak umat untuk tidak menyalahgunakan momentum keagamaan sebagai alat politik.

Dalam ajakan MUI, diingatkan bahwa Maulid Nabi harus jadi refleksi atas perilaku—bukan ajang kampanye.

Praktik ini penting agar perayaan tidak diwarnai politisasi murahan atau sentimen sektarian.

Akhirnya, bagaimana menyelaraskan semua ini dengan nuansa zaman? Di era kini, masyarakat perlu menghidupkan kembali nuansa spiritualitas Maulid dengan cara yang relevan, misalnya lewat konten digital yang mengangkat kisah keadilan Nabi, toleransi, atau aksi sosial konkret. Tanpa meninggalkan tradisi, adaptasi kreatif menjadi kunci agar pesan kenabian tetap hidup di tengah kerusuhan sosial.

Di saat Indonesia dilanda demo besar dan ketegangan sosial, Maulid Nabi bisa jadi penawar: memperkuat solidaritas, menumbuhkan empati, dan menyuburkan keadilan.

Namun, risiko politisasi dan agenda tersembunyi harus diwaspadai. Jadikan Maulid sebagai momen penyatuan, bukan disorientasi—karena sesungguhnya, spirit kenabian bukan hanya tentang cerita masa lalu, tapi juga cermin masa depan Indonesia yang damai dan berkeadaban. ***

Show More

Berita Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Untuk Menonaktifkan Adblock