Prabowo, Jokowi dan Purbaya

Drs. KH. Mufid Rahmat, MM (Aktifis NU)
SEMARANG || Koranprogresif.id – Nama presiden Prabowo Subianto, mantan presiden Jokowi dan menteri keuangan Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, merupakan nama yang mendominasi jagad dunia maya dan media massa. Di antara mereka bertiga, sekarang ini, ada yang dipuja dan dibela, ada pula yang dicerca dan sedikit yang membela. Sulit untuk mendeteksi apakah respon beragam tersebut mencerminkan pendukung atau sebaliknya, apakah mencerminkan sikap politik atau spontanitas.
Respon beragam dari publik itu, menurut subyektifitas saya semacam beyond siklus. Yang terjadi pada masa lalu tidak mesti linier dengan yang terjadi sekarang. Tidak saja dinamis fluktuatif, tetapi bisa kontradiktif, bahkan bisa dramatis.
Sesuatu yang dianggap baik pada masa lalu bisa berubah menjadi noda dan aib pada masa kini. Jasa dan legacy dalam waktu relatif singkat bisa sirna dan tiada makna. Nyaris tidak ada yang positif, walaupun secuil. Sementara, dalam case tertentu, sesuatu yang pada masa lalu dianggap negatif; cercaan dan ejekan, berubah menjadi positif pada masa kini.
*Benci dan rindu*
Joko Widodo (Jokowi) pada masa lalu dianggap sebagai pribadi fenomenal yang menginspirasi. Dalam kurun lama, dia mampu menghipnotis publik dengan berbagai “atraksinya” di panggung lokal, nasional dan global.
Seorang Desa yang menjelma menjadi publik figur yang sangat mempesona. Seorang “tukang kayu” yang memenangkan kontestasi politik di semua level. Seorang “figuran” politik yang mampu memimpin para top leader politik. Jabatan Walikota, Gubernur dan Presiden diraihnya dengan elektabilitas mayoritas.
Dia disanjung karena kesederhanaannya, diapresiasi leadership nya yang populis, ditiru gaya sidak dan blusukannya, ditiru gaya berpakaiannya dan apapun yang ada padanya serta apa saja yang dilakukannya dinilai serba positif. Dia tampil nyaris tanpa cela.
Penataan kota, penertiban pedagang kaki lima sampai proyek proyek mercusuar dan proyek strategis – visioner, jalan tol, IKN, kereta cepat diapresiasi sebagai pencapaian spektakuler.
Sekarang ini dia dicaci dan direndahkan; setidaknya dilecehkan. Hampir semua tayangan dan komentar tentang dirinya konotasinya negatif. Jalan tol dicibir, IKN dipersoalkan dan kereta cepat diungkit. Ijasah digugat keasliannya, bahkan orang tua biologisnya dipertanyakan. Tidak ada yang dianggap baik dan benar.
Presiden Prabowo Subianto, pada masa lalu dicibir dan diserang. Di panggung kampanye pilpres dia dinilai gagal dalam kapasitasnya sebagai Menhan. Dia diberi nilai merah. Padahal dia ekspert dibidang Hankam, seorang Jenderal pasukan khusus dengan reputasi bagus dan memiliki jejaring global di bidang militer. Sementara yang memberi nilai merah bisa dibilang tidak memiliki kompetensi di bidang militer.
Sekarang Prabowo menjawab dengan bukti dan prestasi. Dia punya kompetensi dengan akreditasi unggul, dia punya kemampuan diplomasi di tataran global; menjadi bintang di forum sidang umum PBB, di forum KTT Mesir, di forum Asean dan sebagainya. Juga melakukan pembuktian bahwa dia tidak sekedar omon omon tentang kebocoran anggaran negara dan sebagainya.
Dia, kini disanjung dan diberi nilai bagus. Program sekolah rakyat gratis untuk orang tidak mampu, data tunggal nasional untuk bansos dan subsidi, koperasi merah putih dan makan bergizi gratis (MBG) dinilai positif, mesti masih ada sebagian kecil yang kontra.
Purbaya Yudhi Sadewa, pada awal kepemimpinannya menjadi menteri keuangan, mendapatkan respons positif dari publik. Gaya kepemimpinannya yang dikatakan sebagai gaya koboi diapresiasi. Bicara yang ceplas-ceplos dan aksinya mengulik masa lalu serta serangannya terhadap kolega mendapatkan pujian. Dia dicap tidak saja clean, tetapi pemberani.
Aksi dan “atraksi” Purbaya bisa dibilang masih seumur jagung. Tentunya, kita berharap dia istiqamah menegakkan kebenaran (iqomatul Haq) dan idharul haq dalam konteks menuju maslahah al ‘ammah. Kita tidak ingin dia dipuja di awal dan dicerca di akhir.
Mantan presiden Soeharto, awalnya dipuja, di akhirnya dicela dan dicerca. Prestasi dan legacy nya bagi negara nyaris tidak ada pengakuan dan penghargaan. Bahkan, berkali kali diusulkan menjadi pahlawan nasional menjadi perdebatan panas dan berlarut. Tapi, kini kebencian terhadap sosok pak Soeharto mulai berpudar. Ada sebagian publik yang mengaku mulai merindukannya. Ada fenomena benci tapi rindu.
*Ojo kagetan*
Rasa senang, benci dan rindu merupakan sifat manusia, karena itu mengekspresikannya perlu dibarengi dengan manajemen emosi, agar tidak menjelma menjadi fitnah, musibah dan kultus. Dalam perspektif Islam, jangan terlalu mencintai seseorang karena bisa jadi kelak menjadi seseorang yang sangat kamu benci. Jangan kamu sangat membenci seseorang, karena suatu ketika bisa menjadi seseorang yang kamu sukai.
Dalam perspektif Jawa, ada tembung: dadi manungso ojo gampang gumunan lan kagetan. Mengko mundak kecele, yang semula baik ternyata tidak baik. Senang/suka dan benci sifatnya subyektif dan temporal.
Semua orang punya masa lalunya masing-masing. Dalam konteks tertentu, seseorang bisa dilihat diakhirnya, karena itu ada term Khusnul khatimah dan suul khotimah. Tapi term tersebut dilihat dengan kacamata obyektivitas, bukan like and dislike. ***


