Presiden Soeharto Pahlawan, Bukan Soal Layak

Oleh: Abdul Rohman Sukardi
JAKARTA || Koranprogresif.id – Sebentar lagi Hari Pahlawan: 10 November 2025. Media-media memberitakan ada 40 usulan Pahlawan Nasional. Presiden Ke-2 RI —Presiden Soeharto— ada di dalamnya.
Usulan itu sudah sejak tahun 2010. Ditolak sejumlah pihak oleh sejumlah alasan. Bukan soal kelayakan. Melainkan cerminan gemuruh dialektika bangsa untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Dalam menatap masa lalu maupun masa depannya.
Mari kita cermati soal itu dari berbagai perspektif.
Setiap bangsa memiliki masa lalu yang kadang sulit dirangkul sepenuhnya. Masa di mana kekuasaan berbaur dengan kekerasan, ketakutan, dan pengorbanan. Namun, sejarah bukan sekadar kumpulan catatan hitam-putih. Sejarah adalah ruang pemahaman.
Dalam konteks Indonesia, nama Presiden Soeharto menjadi ujian besar kedewasaan bangsa dalam menghadapi sejarahnya sendiri. Pertanyaannya bukan lagi sekadar apakah ia layak menjadi pahlawan nasional. Tetapi apakah bangsa ini siap berdamai dengan sosok yang pernah menyelamatkan, sekaligus (dianggap) menakutkan sejumlah pihak itu.
Secara konstitusional, Presiden Soeharto tidak pernah memerintah di luar hukum. Ia diangkat secara sah oleh MPRS. Memerintah dalam kerangka UUD 1945 yang masih berlaku. Menggunakan perangkat hukum yang sah di zamannya.
Tidak ada pasal yang membatasi masa jabatan presiden. Tidak ada pelanggaran formal terhadap _“rule of the game.”_ Dari sisi hukum positif, ia adalah pemimpin yang sah.
Bahkan jika dilihat dari syarat-syarat formal gelar Pahlawan Nasional: berjasa luar biasa bagi bangsa, berintegritas moral, dan tidak mengkhianati negara. Tidak ada yang membuat Presiden Soeharto “tidak layak.”
Ia mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik. Mempertahankan republik dari ancaman ideologi. Membangun infrastruktur, menata birokrasi, dan menjaga keutuhan wilayah.
Presiden Soeharto sejak muda mengangkat senjata memertaruhkan nyawa. Mempertahankan sekaligus menjaga kemerdekaan melawan kembalinya penjajah. Setelah dewasa ia ditakdirkan memimpin dan membangun bangsa.
Hanya sedikit sosok yang punya kesempatan lengkap seperti itu. Bahkan Proklamator kita lebih banyak berjuang di arena diplomasi.
Presiden Soeharto sudah sepantasnya pada barisan pertama memperoleh gelar pahlawan. Bersama Soekarno-Hatta-Jenderal Soedirman. Sebelum gelar diberikan kepada yang lain dari warga negara ini.
Tantangan muncul ketika penilaian dilakukan bukan dari sisi hukum. Melainkan moral politik zaman sekarang. Zaman yang berbeda. Orde Baru dikritik karena dinilai menekan kebebasan, membatasi partai, dan menggunakan kekuatan militer untuk menjaga stabilitas.
Konteksnya berbeda: tahun 1965, Indonesia hampir runtuh. Ekonomi terpuruk, konflik ideologi memuncak. Kekuasaan sipil nyaris lumpuh.
Tindakan Presiden Soeharto bisa dipahami sebagai strategi bertahan hidup sebuah negara _(state survival strategy)_. Bukan karena ambisi pribadi. Ia muncul bukan sebagai penakluk, melainkan sebagai penegak ketertiban dalam situasi kritis.
Banyak negara lain menghadapi dilema serupa. Spanyol, memilih _*Pacto del Olvido*_ — perjanjian untuk melupakan — setelah era Jenderal Franco. Bukan untuk menutup-nutupi kesalahan. Akan tetapi untuk mencegah dendam menghancurkan masa depan.
Korea Selatan dan Taiwan baru berani membuka lembaran masa lalu setelah negara stabil dan makmur. Di Afrika Selatan, Nelson Mandela memilih jalur _*Truth and Reconciliation Commission*_. Ruang untuk mengakui kebenaran dan memaafkan tanpa melupakan.
Model-model ini menunjukkan satu hal: rekonsiliasi sejarah adalah tanda kedewasaan bangsa. Bukan bermakna penghapusan kebenaran.
Indonesia belum sampai pada tahap itu. Kita masih terpecah antara *“menyanjung* dan yang *menolak”*. Sebagian menilai Presiden Soeharto diktator. Sebagian menyebut bapak pembangunan. Keduanya bisa benar. Dari perspektif yang berbeda.
Presiden Soeharto bisa menjadi sosok paradoks sejarah: membangun, sekaligus membatasi kebebasan. Walaupun kebijakanya berpijak pada konstitusi dengan segala tafsirnya. Menolak salah satu sisi berarti mengingkari sejarah.
Mengakui jasa Presiden Soeharto bukan berarti membenarkan kekerasan. Mengkritik kekerasannya tidak otomatis meniadakan kontribusinya bagi bangsa.
Gelar Pahlawan Nasional, dalam hukum Indonesia, diberikan kepada mereka yang berjasa luar biasa, berintegritas, dan tidak mengkhianati negara. Presiden Soeharto tidak mengkhianati republik. Sebaliknya, ia mempertahankan kesatuan, memulihkan ekonomi, dan menata administrasi negara.
Sistem Orde Baru dianggap keras, kebebasan dibatasi, dan korupsi dinilai merajalela. Walaupun kemudian fakta membuktikan era setelahnya korupsi justru lebih buruk.
Sejarah bukan arena penghakiman moral mutlak. Di sini kedewasaan bangsa diuji: mampu membedakan antara pengakuan jasa dan pembenaran moral. Presiden Soeharto tidak harus disucikan seperti malaikat. Akan tetapi juga tidak layak terus dijadikan kambing hitam atas luka masa lalu.
Merekonsiliasi diri dengan sejarah berarti menerima semua fase kekuasaan —baik, buruk, dan kelam— sebagai bagian dari perjalanan bangsa. Jika suatu hari gelar pahlawan diberikan kepada Presiden Soeharto, itu seharusnya bukan sekadar penghargaan personal. Melainkan simbol perdamaian nasional.
Simbol bahwa bangsa telah menyelesaikan dendam sejarahnya dan siap melangkah ke depan dengan kesadaran utuh. Memahami bahwa setiap zaman memiliki logika moral dan tantangan berbeda adalah inti dari rekonsiliasi.
Kita tidak bisa menilai, masa lalu dengan ukuran semata masa kini. Demokrasi yang kita nikmati tumbuh di atas fondasi stabilitas yang dibangun Orde Baru. Tanpa fase itu, mungkin Indonesia tidak akan berada di titik ini.
Bangsa yang besar adalah yang mampu menatap masa lalunya tanpa amarah, tanpa ilusi, dan dengan kesadaran utuh. Rekonsiliasi sejarah, bukan penghakiman semata, adalah bentuk tertinggi dari keadilan dan perdamaian bagi bangsa ini.
Gelar pahlawan untuk Presiden Soeharto bisa jadi membebaskan bangsa ini dari ketersanderaan masa lalu. Menyongsong masa depan baru yang penuh idealisme dan harapan. ***









