HukrimNasional

Berikut Pandangan Guru Besar Universitas Terbuka, Mengenai IKN

Jakarta – koranprogresif.co.id – Guru Besar Universitas Terbuka Hanif Nurcholis menilai tampaknya pembuat UU No.3 Tahun 2022 Tentang IKN tidak paham konsep dan teori ilmiah pemerintahan daerah (Lokal Government).

Menurutnya, membaca aturan tersebut dibuat sakit kepala sekaligus sakit perut karena ia dipaksa mikir dan menelan pengaturan pemerintahan dan administrasi negara yang tidak ada rujukan ilmiahnya.

“Ini hanya mengandalkan modal pokoke, pokoke yang berkuasa membuat UU adalah aku (Pemerintah dan DPR). Ngatur negara modern demokrasi kok begini ya,” ucap Hanif dikutip dari laman media sosialnya, Rabu (2/3/22).

Hanif menjelaskan, didalam pasal 1 angka 8 mengatur bahwa Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara adalah pemerintahan daerah yang bersifat khusus yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Ibu Kota Nusantara.

Pemerintahan daerah yang bersifat khusus ini mempunyai ciri yang berbeda dengan Pemda lain: (1) diselenggarakan oleh badan otorita; (2) kepala badan otorita ditunjuk oleh presiden (tidak dipilih); (3) kepala badan otorita setingkat menteri; (4) tidak mempunyai DPRD (raad/council).

“Kalau satuan pemerintahan begini mah bukan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18, 18A, 18B UUD NRI 1945. Mengapa? Karena satuan pemerintahan model gini dalam literatur ilmiah disebut local state governmen yang di Indonesia diterjemahkan menjadi wilayah administrasi,” jelasnya.

IKN ini malah dicampur aduk dengan pemerintah pusat karena kepalanya setingkat menteri. Pasal 18, 18A, 18B UUD NRI 1945 itu sama sekali tidak mengatur local state government (wilayah administrasi).

“Silakan baca dengan saksama lalu cerna dengan logika ilmiah, jangan dibaca dengan otak kekuasaan/politik (pokoke yg kuasa membuat UU ya Aku). Pasal 18, 18A, 18B UUD NRI 1945 hanya mengatur pemerintahan daerah otonom berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Satuan pemerintahan ini dalam bahasa Inggris disebut local self government,” terangnya.

Apakah beda local state government (wilayah administrasi) dengan pemerintahan daerah otonom yang berasas otonomi dan tugas pembantuan atau local self government itu?

Dipaparkan Hanif, wilayah administrasi adalah satuan pemerintahan di daerah yang pertama kali dibuat oleh Daendels tahun 1808 yang disebut binnenlands bestuur lalu diterjemahkan dalam bahasa Melayu menjadi pemerintahan pangreh praja.

Pemerintahan pangreh praja adalah pemerintahan di daerah yang diselenggarakan oleh pejabat pusat yang ditempatkan di daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Pejabat pusat yang mempimpin pemerintahan pangreh praja ini tersusun secara hirarkis: gubernur, residen, asisten residen, bupati, wedana, camat.

“Tapi pemerintahan khusus IKN inipun juga bukan pemerintahan pangreh praja atau wilayah administrasi murni karena kepalanya setingkat menteri. Wah, kacau deh,” paparnya.

Adapun pemerintahan daerah otonom (local self government) adalah satuan pemerintahan badan hukum komunitas/masyarakat atau rechtsgemeenschap yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kesatuan masyarakat hukum. Satuan pemerintahan ini pertama kali dibentuk pada tahun 1904 berdasarkan UU Desentralisasi tahun 1903. Binatang apa ini?

“Yang jelas bukan pemerintahan pangreh praja atau wilayah administrasi tadi. Lalu apa dong?,” tanyanya.

Satuan pemerintahan ini adalah pemerintahan yang dibentuk secara buttom up. Konstruksi berpikirnya begini. Diabstraksikan bahwa sejalan dengan perkembangan masyarakat maka terbentuk komunitas-komunitas (gemeenschappen) kecil, sedang, dan besar yang mampu mengatur dan mengurus urusannnya sendiri. Secara faktual pada awal abad ke-20 terbentuk komunitas – komunitas begini yang dikoordinir oleh orang – orang Belanda di kota besar, sedang dan kecil.

Komunitas-komunitas ini mengatur secara mandiri kebersihan lingkungan, gas, sampah, drainase, dan penerangan lingkungan. Fakta sosial ini lalu oleh Pemerintah Pusat melalui teori dan legalitas erkenning atau rekognisi diakui sebagai badan hukum publik (publiek rechtspersoon) lalu dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan formal.

Setelah diakui oleh Pemerintah maka statusnya berubah menjadi satuan pemerintahan daerah otonom. Satuan pemerintahan daerah otonom ini berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Urusan yang diatur dan diurus adalah urusan aslinya tadi ditambah urusan baru yang diserahkan (desentralisasi) oleh Pemerintah Pusat.

Berdasarkan kebijakan Pemerintah ini maka pada 1904 terbentuk pemerintahan lokal otonom di berbagai daerah yaitu plaatstelijke (pemerintahan daerah otonom besar yang kemudian menjadi provinsi), gemeente (pemerintahan daerah otonom perkotaan sedang yang kemudian menjadi kotamadya), dan groupsgemeenschap (pemerintahan daerah otonom perkotaan kecil yang kemudian menjadi kota kecil, sekarang dihapus).

Tata kelolanya berbeda dengan pemerintahan pangreh praja. Kalau pemerintahan pangreh praja diselenggarakan penuh oleh tangan panjang pusat yaitu gubernur, residen, asisten residen, bupati, wedana, dan camat kalau pemerintahan ini diselenggarakan oleh Raad atau Council atau Dewan Pemerintah Daerah atau DPRD sebagai representasi komunitas tersebut.

“Nah, satuan pemerintahan inilah yang diatur dalam pasal 18, 18A, 18B UUD NRI 1945. Sebelum diamandemen pun UUD 1945 hanya mengatur pemerintahan lokal otonom, tidak mengatur pemerintahan pangreh praja atau wilayah administrasi,” ujarnya.

Sekarang coba baca pengaturan pasal 5 (1), “Ibu Kota Nusantara berfungsi sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan pemerintahan pusat”.

Nah, makin jelaskan bahwa, pemerintah daerah khusus ini adalah binnenlands bestuur atau pemerintahan pangreh praja atau wilayah administrasi masa kolonial. Pemerintahan daerah model ini tidak diatur dalam pasal 18, 18A, 18B UUD NRI 1945..

Lo, kan pasal 18B (1) UUD NRI 1945 mengatur pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Oke. Kita baca bunyi pasal ini ya. “Negara mengakui dan menghormati satuan­-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang­ undang”.

Frasa pasal ini adalah Negara mengakui dan menghormati satuan­-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Perhatikan subyek, predikat, dan obyeknya. Subyeknya adalah Negara. Predikatnya adalah mengakui dan menghormati. Obyeknya adalah satuan-­satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Jadi, frasa ini mengatur bahwa Negara mengakui dan menghormati obyek yang sudah ada, bukan Negara membentuk obyek baru.

Mengapa begitu? Ya ada teorinya. Mengakui dan menghormati itu dari kata recognize and respect (bhs Belandanya erkenning) inilah yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dengan teori erkenning pada komunitas-komunitas plaatsrelijke, gemeente, dan groupgemeesncap di atas.

Dan konteksnya adalah, dalam rangka membentuk pemerintahan lokal otonom atas obyek yang mempunyai kekhususan tertentu. Misal, Aceh dan Papua.

Dalam kasus Aceh, Negara melakukan recognize and respect terhadap rakyat Aceh dan wilayah yang ditempati sebagai pemerintahan daerah otonom khusus dengan kekhususan sejarah perjuangan, agama Islam dan kebudayaan Islam.

Ia mencontohkan, dalam kasus Papua, Negara merecognize and respect terhadap rakyat Papua dan wilayah yang ditempati sebagai pemerintahan daerah otonom khusus dengan kekhususan sejarah perjuangan dan adat istiadat. Inilah yang diatur dalam pasal 18B (1). Jadi, bukan Negara membentuk pemerintahan daerah khusus.

“Agar tidak sakit kepala sekaligus sakit perut, saya sarankan Anda tidak usah membaca UU No. 3 tahun 2022 tentang IKN,” pungkasnya. (Red).

Show More

Berita Lainnya

Back to top button

Adblock Detected

Mohon Untuk Menonaktifkan Adblock